(Sumber: Hikmah, Republika, Selasa, 18 Juli 2006)
Setiap
orang pasti mendambakan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Adakalanya,
mereka berpikir kebahagiaan itu diperoleh dengan mengumpulkan materi
sebanyak-banyaknya. Kekayaan melimpah diimpikan sebagai puncak
kebahagiaan.
Kenyataannya, rumah tangga yang mengacu pada materi
sebagai sandaran hidupnya, tanpa mengedepankan nilai-nilai agama,
ternyata diambang bencana. Buruknya moral suami, istri, atau anak-anak,
kegelisahan hidup, kecemasan mendalam, kebenciaan di antara anggota
keluarga, bahkan permusuhan dan berbagai permasalahan yang membelit
serta tak kunjung padam.
Rumah tangga yang harmonis dan bahagia
tidaklah bersandar pada materi semata, justru terletak pada sejauh mana
peran nilai-nilai agama mendominasi eksistensi rumah tangga itu.
Kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW yang penuh berkah, ketenteraman,
dan kebahagiaan, selayaknya menjadi panutan kaum Muslimin.
Semasa
hidup Rasulullah SAW tidak pernah memiliki rumah mewah dan harta
berlimpah. Bahkan, ketika Umar bin Khathab mengunjungi beliau suatu
hari, didapatinya Rasulullah sedang berbaring di atas pelepah daun
kurma. Hingga punggung beliau tergores saking kerasnya pelepah daun
kurma itu.
Tetapi, dari kondisi yang sangat sederhana itu, beliau
selalu mengucapkan baiti jannati, rumahku adalah surgaku. Itulah ciri
rumah tangga yang dibangun atas dasar keimanan dan ketakwaan pada Allah
SWT.
Dalam rumah tangga Islami, seluruh anggota keluarga memiliki
peran dan fungsi yang jelas. Masing-masing mereka menghormati perannya.
Suami adalah pemimpin yang berakhlak shodiqul wa'di (selalu menepati
janji baik pada Allah SWT maupun masyarakat), dapat menegakkan keadilan
dan kasih sayang dalam memimpin keluarga. ''Dan dia menyuruh keluarganya
untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai
di sisi Tuhannya.'' (QS Maryam [19]: 55).
Istri berfungsi menaati
suami dan bekerja sama dengannya dalam kebajikan dan takwa, sehingga
mampu mengayomi keluarga dengan kasih sayangnya yang tulus ikhlas.
Anak-anak pun menjadi cahaya mata karena ketaatan dan kesalehan mereka.
''Wahai
Rabb kami, karuniakanlah kepada kami istri-istri dan anak-anak
keturunan kami sebagai cahaya mata (penyenang hati) bagi kami, dan
jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa. (QS
Al-Furqan [25]: 74).
Dengan iman, dia membedakan yang benar dari
yang salah. Dengan iman pula ia memahami baik dan buruk untuk kemudian
berpihak pada yang baik. Bahkan dengan iman itu, setiap anggota keluarga
mampu bersyukur manakala mendapatkan keberuntungan betapapun kecilnya.
Rumah tangga yang dibangun dengan landasan keimanan, pada dasarnya telah
membangun surga di dunia.