Kontribusi dari Mahdi Mahendra
|
Wednesday, 27 April 2005
|
Apakah kamu punya
teman yang punya kecerdasan luar biasa? Atau kamu justru anak paling cerdas
di sekolah? Wah, siapa tahu kamu termasuk anak indigo. Apa sih anak indigo?
Jika
kamu atau teman-teman kamu mempunyai Intelegence Quotient (IQ) melebihi 120,
mungkin termasuk anak indigo. Tapi IQ di atas 120 bukan jaminan termasuk anak
indigo. Anak indigo tidak cuma ber-IQ tinggi, tapi biasanya ia menguasai
keahlian tertentu yang luar biasa, bahkan terkadang mengalahkan kemampuan
orang dewasa pada keahlian yang sama. Cara berpikir anak-anak indigo pun
cenderung rasional seperti orang dewasa.
“Secara
usia, mereka memang masih kecil. Namun secara kedewasaan mereka sudah
matang,” jelas Wendy Chapman, seorang
pakar psikologi pendidikan tentang anak indigo.
Dalam kehidupan sehari-hari,
anak-anak indigo tak mau dianggap sebagai anak kecil mereka ingin memilih
segala sesuatunya sendiri. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting,
untuk sekadar mengarahkan si anak agar tetap mempunyai rasa hormat pada orang
yang lebih tua.
Anak-anak
cerdas ini juga diyakini mempunyai kepekaan spiritual yang tinggi, walaupun
dalam kehidupan sehari-hari mereka bersifat sok tua, sok pintar, dan sok
dewasa. Kenyataannya, anak-anak indigo memang mampu menguasai sesuatu hal
hingga sedetail-detailnya. Tentu saja sesuatu hal yang sangat diminatinya.
|
Berbeda, tetapi Bukan Anak "Aneh"
Jakarta, Kompas
Minggu, 27 Juni 2004
SEPANJANG perjalanan menuju rumah nenek, Ardi, sebut saja begitu, seperti tidak bergerak. Wajahnya pucat pasi. Ia terus menutupi telinganya. Sang ibu tak berani mengusik anak sulungnya.
"Saya sebenarnya heran, kok Ardi nangisnya sampai begitu waktu mendengar kabar ibu saya meninggal. Enggak seperti anak kecil lain yang kehilangan neneknya. Sedih ya sedih, tapi enggak gitu-gitu amat," ujar Dewi.
BEGITU turun dari mobil, Ardi seperti terkesima melihat sesuatu di pintu masuk. Ketika mencium jenazah neneknya, tiba-tiba ia kembali menutupi telinganya dan tampak ketakutan. Pandangannya terus menuju ke luar pintu. Setelah itu Ardi mengatakan kepalanya sakit, dan tidak ikut ke makam.
Menjelang tengah malam, Ardi menanyakan apakah ibunya mendengar suara petir siang tadi. Sang ibu menjawab, "Tidak." "Masak Mama enggak dengar, kan keras sekali dan terus- terusan, Ma," kata Dewi menirukan ucapan Ardi saat itu. "Sehabis itu Ardi menceritakan semuanya," lanjut Dewi. Selain petir, Ardi melihat burung besar di pintu rumah sang nenek. "Burung itu enggak pergi-pergi," ujar Ardi seperti ditirukan Dewi.
Saat mencium neneknya, Ardi melihat sang nenek berjalan menuju sebuah gerbang. Saat itu Ardi mendengar suara petir lagi, yang lebih keras dari sebelumnya, dan ia menyaksikan neneknya melangkah melewati gerbang, terus berjalan menuju tempat yang ia katakan "indah sekali".
Peristiwa itu bukan yang pertama, sehingga Dewi dan suaminya tidak lagi terkejut mendengar penuturan anak mereka. "Dia sering melihat macam- macam, tetapi biasanya diam. Ia hanya mau berbicara sesudahnya, pelan-pelan dan hanya kepada orang tertentu," sambung Dewi.
Usia Ardi kini menjelang 10 tahun. Di sekolah ia termasuk cerdas. IQ-nya antara 125-130. "Tapi gurunya bilang ia suka bengong di kelas," sambung Dewi. Kepada ibunya, ia bercerita melihat macam-macam di sekolah, yang tidak bisa dilihat orang lain, di antaranya anak tanpa anggota badan, dan ia merasa sangat kasihan.
Suatu hari saat belajar di rumah ia tersenyum. Ketika ditanya oleh sang ibu, ia mengatakan ada anak persis sekali dengan dirinya. Hari berikutnya ia bercerita, anak itu datang di sekolahnya. Ketika ditanya di mana ia tinggal, anak itu menjawab, "Di sana," sambil telunjuknya menunjuk ke arah atas. "Ada apa di sana?" tanya Ardi. Anak itu menjawab, "Ada orang gede- gede buanget. Anak itu omongnya juga medhok lho Ma, kayak aku, persis," tutur Ardi seperti diceritakan kembali oleh Dewi. Tentu tak ada orang lain melihat "anak itu" kecuali Ardi.
Dewi dan suaminya memahami apa yang terjadi pada Ardi dan juga adiknya. Beberapa anggota keluarganya juga memiliki kepekaan lebih dibandingkan dengan orang kebanyakan. Pada Ardi hal itu sudah terdeteksi saat masih bayi. "Kalau dengar suara azan, Ardi tampak mendengarkan dengan penuh konsentrasi," kenang Dewi. Menjelang usia 1,5 tahun, Ardi membaca kalimat syahadat secara sambung-menyambung seperti wirid. Sesudah bisa jalan, sebelum usia dua tahun, ia mulai mengambil sajadah sendiri, memakai sarung sendiri dan membuat gerakan seperti orang shalat, meskipun bukan waktu shalat.
Toh tingkah laku Ardi membuat Dewi merasa agak risau. "Ia melihat dan mendengar apa saja yang orang lain enggak bisa lihat dan enggak bisa dengar," katanya. Ia tidak menceritakan situasi anaknya itu pada setiap orang di luar keluarga. "Kalau enggak percaya bisa-bisa anak itu dianggap berkhayal," lanjutnya.
Dewi tidak mengecap anaknya berkhayal, karena dalam beberapa hal ia juga memiliki kepekaan itu, meski hanya sampai tingkat tertentu. "Suatu sore, sehabis shalat, saya merasa ada bayangan putih. Ardi rupanya juga melihat karena ia tersenyum. Dia bilang, ’Ma, ada yang ngikutin, perempuan. Tapi orangnya baik sekali.’ Ketika saya tanya siapa, Ardi tidak menjawab."
Suatu hari, Dewi membaca majalah yang menulis tentang tanda-tanda anak indigo. "Lha saya pikir kok persis sekali sama anak saya. Lalu saya berusaha menemui dr Erwin di Klinik Prorevital."
ANAK-ANAK dengan kemampuan seperti Ardi bukan hal yang baru di dunia, tetapi fenomenanya semakin jelas 20 tahun terakhir ini. Beberapa film mengisahkan kemampuan anak dan manusia dewasa dengan kemampuan semacam itu, di antaranya The Sixth Sense, dan film-film seri seperti The X Files.
Menurut dr Tubagus Erwin Kusuma SpKj, psikiater yang menaruh perhatian pada masalah spiritualitas, anak-anak seperti itu semakin muncul di mana-mana di dunia, melewati batas budaya, agama, suku, etnis, kelompok, dan batas apa pun yang dibuat manusia untuk alasan-alasan tertentu.
Fenomena itu menarik perhatian banyak pihak, karena dalam paradigma psikologi manusia, anak-anak itu dianggap "aneh". Pandangan ini muncul karena selama ini kemanusiaan telanjur dianggap sebagai hal yang statis, tak pernah berubah. "Padahal, semua ciptaan Tuhan selalu berubah," ujar dr Erwin.
Sebagai hukum, masyarakat cenderung memahami evolusi tapi hanya untuk yang berkaitan dengan masa lalu. "Fenomena munculnya anak-anak dengan kemampuan seperti itu merupakan bagian dari evolusi kesadaran baru manusia, yang secara perlahan muncul di bumi, terutama sejak awal milenium spiritual sekitar tahun 2000 yang disebut Masa Baru, The New Age, atau The Aquarian Age. Semua ini merupakan wujud kebesaran Allah," tegas Erwin.
Fisik anak-anak indigo sama dengan anak-anak lainnya, tetapi batinnya tua (old soul) sehingga tak jarang memperlihatkan sifat orang yang sudah dewasa atau tua. Sering kali ia tak mau diperlakukan seperti anak kecil dan tak mau mengikuti tata cara maupun prosedur yang ada. Kebanyakan anak indigo juga memiliki indra keenam yang lebih kuat dibanding orang biasa. Kecerdasannya di atas rata-rata.
Istilah "indigo" berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi biru dan ungu, diidentifikasi melalui cakra tubuh yang memiliki spektrum warna pelangi, dari merah sampai ungu. Istilah "anak indigo" atau indigo children juga merupakan istilah baru yang ditemukan konselor terkemuka di AS, Nancy Ann Tappe.
Pada pertengahan tahun 1970-an Nancy meneliti warna aura manusia dan memetakan artinya untuk menandai kepribadiannya. Tahun 1982 ia menulis buku Understanding Your Life Through Color. Penelitian lanjutan untuk mengelompokkan pola dasar perangai manusia melalui warna aura mendapat dukungan psikiater Dr McGreggor di San Diego University.
Dalam klasifikasi yang baru itu Nancy membahas warna nila yang muncul kuat pada hampir 80 persen aura anak-anak yang lahir setelah tahun 1980. Warna itu menempati urutan keenam pada spektrum warna pelangi maupun pada deretan vertikal cakra, dalam bahasa Sansekerta disebut cakra ajna, yang terletak di dahi, di antara dua alis mata.
"Itulah mata ketiga," ujar dr Erwin. The third eye itu, menurut dia, berkaitan dengan hormon hipofisis (pituary body) dan hormon epificis (pineal body) di otak. Dalam peta klasifikasi yang dibuat Nancy, manusia dengan aura dominan nila dikategorikan sebagai manusia dengan intuisi dan imajinasi sangat kuat.
"Letak indigo ada di sini," jelas Tommy Suhalim sambil menjalankan perangkat teknologi pembaca aura, aura video station (AVS). Alat yang protipenya dibuat oleh Johannes R Fisslinger dari Jerman tahun 1997 ini lebih canggih dibandingkan perangkat teknologi serupa yang ditemukan Seymon Kirlian tahun 1939, dan Aura Camera 6000 yang dibuat Guy Coggins tahun 1992 berdasarkan Kirlian Photography.
Tom menunjukkan titik berkedip berwarna nila tua, sangat jelas di antara kedua mata Vincent Liong (19). Murid kelas dua tingkat SLTA di Gandhi International School itu sudah menulis buku pada usia 14 tahun dan bukunya diterbitkan oleh penerbit terkemuka di Indonesia. Buku Berlindung di Bawah Payung itu merupakan refleksi, berdasarkan kejadian sehari- hari yang sangat sederhana.
Pergulatan pemikiran yang muncul dalam tulisan-tulisannya kemudian seperti datang dari pemikiran orang bijak, dan menjadi bahan pembicaraan. Pemilihan angle-nya tidak biasa, dan hampir tidak terpikir bahkan oleh orang dewasa yang menekuni bidang itu. Belakangan ia banyak menulis soal spiritual, namun tetap dilihat dalam konteks ilmiah dan rasional.
Mungkin karena minatnya yang sangat besar pada dunia tulis-menulis, Vincent tidak terlalu berminat dengan beberapa mata pelajaran di sekolahnya. Orangtuanya yang tergolong demokratis pun sering tidak mengerti apa yang diingini anaknya yang ber-IQ antara 125-130 ini. "Dia keras kepala. Kemarin ia tidak mau ikut ujian matematika," sambung Liong, ayahnya.
Vincent mengaku "takut" pada matematika sejak kecil, tapi mengaku disiplin pada aturan mainnya sendiri. "Sejak kecil aku bingung pada dogma satu tambah satu sama dengan dua. Aku juga bingung dengan ilmu ekonomi karena dalam realitas sosial berbeda," tegas Vincent.
Toh sang ibu sudah menengarai keistimewaan anaknya sejak bayi. Waktu SD, Vincent biasa bergaul dengan gurunya, dan orang-orang setua gurunya. Pertanyaannya banyak dan sangat kritis. "Saya langganan dipanggil guru bukan hanya karena anak itu sulit. tetapi juga karena karangan-karangannya membuat guru-gurunya kagum," ujar Ny Ina.
Vincent sudah menulis tentang teleskop berdasarkan pengamatan dan referensi pada usia SD. "Di rumah ia membawa ensiklopedi yang besar- besar itu ke kamarnya," ujar Ny Ina. "Kamarnya kayak kapal pecah. Tidurnya dini hari karena menulis," sambung Liong. "Saya sering meminta agar ia menyelesaikan pendidikan formalnya dulu, karena bagaimanapun itu sangat penting," lanjut Liong.
"PENDIDIKAN formal sangat penting karena anak-anak indigo harus membumikan ’ilmu langitnya’ untuk kebaikan manusia. Bukan sebaliknya," ujar Rosini (40). Ia menganjurkan, agar anak-anak yang memiliki kemampuan berbeda itu tidak dieksploitasi oleh orangtua dan lingkungannya untuk mencari nomor togel atau menjadi dukun atau klenik. "Bukan itu misi anak-anak indigo," tegas Rosi.
Anak-anak itu sebenarnya punya mekanisme pertahanannya sendiri. Annisa, misalnya. Gadis kecil berusia 4,5 tahun ini tiba-tiba berbicara dalam bahasa Inggris beraksen Amerika begitu ia bisa bicara pada usia 2,5 tahun. Padahal orangtuanya tidak berbahasa Inggris dengan baik. Meski tampak menggemaskan, dalam banyak hal ia berbicara dan bersikap seperti orang dewasa, bahkan menyebut dirinya "orang Amerika" karena "datang dari Amerika". Nisa menyebut ibunya, Yenny bukan dengan panggilan mama.
Kemampuan melihat dan mendengar Nisa sangat tajam pada pukul 23.00 sampai dini hari. Tetapi kalau secara sengaja diminta memperlihatkan kemampuannya, ia akan menolak dengan tidak memperlihatkan kemampuan itu sehingga ia tampak seperti anak-anak lainnya," ujar Yenny. Kata sang ibu, Nisa tidak mudah bersalaman dengan orang. Ia seperti tahu orang yang suka pergi ke dukun atau memakai jimat. Namun sebagai anak-anak Nisa juga suka menyanyi dan bermain.
Jenis dan kemampuan anak indigo bermacam-macam. Meski memiliki kepekaan yang kuat, kepekaan mendengar dan melihat sesuatu yang tidak didengar dan dilihat orang kebanyakan, berbeda-beda gradasinya.
Menurut Lanny Kuswandi, fasilitator program relaksasi di Klinik Prorevital, mengutip dr Erwin, "Ada tipe humanis, tipe konseptual, tipe artis, dan tipe interdimensional. Pendekatan terhadap mereka juga berbeda-beda," sambungnya.
Namun karena dianggap "aneh", tak jarang diagnosisnya keliru dan penanganannya lebih bersandar pada obat-obatan. "Ada anak indigo yang dianggap autis, ADHD (Attention-Deficit Hyperatictve Disorder) maupun ADD (Attention Deficit Disorder). Padahal tanda-tandanya berbeda," sambung Erwin. Kekeliruan semacam ini juga terjadi di AS, karena banyak ahli menganggap anak-anak itu menderita "gangguan" yang harus dihilangkan.
"Saya beberapa kali pergi ke psikolog dan psikiater," ujar Rosini. Profesional di suatu perusahaan swasta terkemuka itu suatu saat dalam hidupnya merasa sangat terganggu oleh suara-suara itu. Orangtuanya juga merasa anaknya "aneh" karena kerap memberi tahu peristiwa yang akan terjadi, tetapi menolak mengakui kemampuan anak itu.
"Dalam tes yang dibuat oleh mereka, saya dinyatakan sehat. Tidak ada gangguan apa pun," sambung Rosini. Sebaliknya, ia melihat psikolog dan psikiater yang melakukan tes terhadap dirinyalah yang bermasalah. Ia juga pernah mencoba mencari paranormal untuk membuang kemampuannya itu, meski suara-suara itu mengatakan "jangan".
Akhirnya Rosi berdamai dengan dirinya dan mengembalikan kemampuannya sebagai wujud kebesaran Allah SWT, dengan berusaha untuk terus mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Karena itu ia ingin membantu orangtua dengan anak-anak indigo agar anak- anak itu tidak melewati masa pencarian yang rumit seperti dirinya.
Indigo children, menurut Erwin, bukan fenomena terakhir, karena akan lahir anak-anak yang disebut sebagai crystal children. "Anak-anak dengan warna dasar aura, bening dan lengkap. Mereka lahir dari orangtua yang spiritual."
Mungkin Cita (9) termasuk anak itu. Keluarganya, sampai nenek-neneknya, spiritualis. Ia bisa melihat sinar dan malaikat di rumah ibadah, khususnya ketika orang-orang sedang berdoa. Ini hanya salah satu kemampuan "melihat" milik anak yang selalu mendapat rangking di sekolah itu. Cita tahu kapan hujan akan turun hari itu dan sebaliknya, meskipun mendung sudah menggantung.
"Ia menjadi teman dan penasihat kami, bapak-ibunya. Di sekolah, di keluarga besar kami, terasa ia menebarkan aura kedamaian dan kebahagiaan. Anak itu sangat tenang dan pemaaf," ujar ibunya, Ny Dita. (MH)
Jakarta, Kompas
Minggu, 27 Juni 2004
SEPANJANG perjalanan menuju rumah nenek, Ardi, sebut saja begitu, seperti tidak bergerak. Wajahnya pucat pasi. Ia terus menutupi telinganya. Sang ibu tak berani mengusik anak sulungnya.
"Saya sebenarnya heran, kok Ardi nangisnya sampai begitu waktu mendengar kabar ibu saya meninggal. Enggak seperti anak kecil lain yang kehilangan neneknya. Sedih ya sedih, tapi enggak gitu-gitu amat," ujar Dewi.
BEGITU turun dari mobil, Ardi seperti terkesima melihat sesuatu di pintu masuk. Ketika mencium jenazah neneknya, tiba-tiba ia kembali menutupi telinganya dan tampak ketakutan. Pandangannya terus menuju ke luar pintu. Setelah itu Ardi mengatakan kepalanya sakit, dan tidak ikut ke makam.
Menjelang tengah malam, Ardi menanyakan apakah ibunya mendengar suara petir siang tadi. Sang ibu menjawab, "Tidak." "Masak Mama enggak dengar, kan keras sekali dan terus- terusan, Ma," kata Dewi menirukan ucapan Ardi saat itu. "Sehabis itu Ardi menceritakan semuanya," lanjut Dewi. Selain petir, Ardi melihat burung besar di pintu rumah sang nenek. "Burung itu enggak pergi-pergi," ujar Ardi seperti ditirukan Dewi.
Saat mencium neneknya, Ardi melihat sang nenek berjalan menuju sebuah gerbang. Saat itu Ardi mendengar suara petir lagi, yang lebih keras dari sebelumnya, dan ia menyaksikan neneknya melangkah melewati gerbang, terus berjalan menuju tempat yang ia katakan "indah sekali".
Peristiwa itu bukan yang pertama, sehingga Dewi dan suaminya tidak lagi terkejut mendengar penuturan anak mereka. "Dia sering melihat macam- macam, tetapi biasanya diam. Ia hanya mau berbicara sesudahnya, pelan-pelan dan hanya kepada orang tertentu," sambung Dewi.
Usia Ardi kini menjelang 10 tahun. Di sekolah ia termasuk cerdas. IQ-nya antara 125-130. "Tapi gurunya bilang ia suka bengong di kelas," sambung Dewi. Kepada ibunya, ia bercerita melihat macam-macam di sekolah, yang tidak bisa dilihat orang lain, di antaranya anak tanpa anggota badan, dan ia merasa sangat kasihan.
Suatu hari saat belajar di rumah ia tersenyum. Ketika ditanya oleh sang ibu, ia mengatakan ada anak persis sekali dengan dirinya. Hari berikutnya ia bercerita, anak itu datang di sekolahnya. Ketika ditanya di mana ia tinggal, anak itu menjawab, "Di sana," sambil telunjuknya menunjuk ke arah atas. "Ada apa di sana?" tanya Ardi. Anak itu menjawab, "Ada orang gede- gede buanget. Anak itu omongnya juga medhok lho Ma, kayak aku, persis," tutur Ardi seperti diceritakan kembali oleh Dewi. Tentu tak ada orang lain melihat "anak itu" kecuali Ardi.
Dewi dan suaminya memahami apa yang terjadi pada Ardi dan juga adiknya. Beberapa anggota keluarganya juga memiliki kepekaan lebih dibandingkan dengan orang kebanyakan. Pada Ardi hal itu sudah terdeteksi saat masih bayi. "Kalau dengar suara azan, Ardi tampak mendengarkan dengan penuh konsentrasi," kenang Dewi. Menjelang usia 1,5 tahun, Ardi membaca kalimat syahadat secara sambung-menyambung seperti wirid. Sesudah bisa jalan, sebelum usia dua tahun, ia mulai mengambil sajadah sendiri, memakai sarung sendiri dan membuat gerakan seperti orang shalat, meskipun bukan waktu shalat.
Toh tingkah laku Ardi membuat Dewi merasa agak risau. "Ia melihat dan mendengar apa saja yang orang lain enggak bisa lihat dan enggak bisa dengar," katanya. Ia tidak menceritakan situasi anaknya itu pada setiap orang di luar keluarga. "Kalau enggak percaya bisa-bisa anak itu dianggap berkhayal," lanjutnya.
Dewi tidak mengecap anaknya berkhayal, karena dalam beberapa hal ia juga memiliki kepekaan itu, meski hanya sampai tingkat tertentu. "Suatu sore, sehabis shalat, saya merasa ada bayangan putih. Ardi rupanya juga melihat karena ia tersenyum. Dia bilang, ’Ma, ada yang ngikutin, perempuan. Tapi orangnya baik sekali.’ Ketika saya tanya siapa, Ardi tidak menjawab."
Suatu hari, Dewi membaca majalah yang menulis tentang tanda-tanda anak indigo. "Lha saya pikir kok persis sekali sama anak saya. Lalu saya berusaha menemui dr Erwin di Klinik Prorevital."
ANAK-ANAK dengan kemampuan seperti Ardi bukan hal yang baru di dunia, tetapi fenomenanya semakin jelas 20 tahun terakhir ini. Beberapa film mengisahkan kemampuan anak dan manusia dewasa dengan kemampuan semacam itu, di antaranya The Sixth Sense, dan film-film seri seperti The X Files.
Menurut dr Tubagus Erwin Kusuma SpKj, psikiater yang menaruh perhatian pada masalah spiritualitas, anak-anak seperti itu semakin muncul di mana-mana di dunia, melewati batas budaya, agama, suku, etnis, kelompok, dan batas apa pun yang dibuat manusia untuk alasan-alasan tertentu.
Fenomena itu menarik perhatian banyak pihak, karena dalam paradigma psikologi manusia, anak-anak itu dianggap "aneh". Pandangan ini muncul karena selama ini kemanusiaan telanjur dianggap sebagai hal yang statis, tak pernah berubah. "Padahal, semua ciptaan Tuhan selalu berubah," ujar dr Erwin.
Sebagai hukum, masyarakat cenderung memahami evolusi tapi hanya untuk yang berkaitan dengan masa lalu. "Fenomena munculnya anak-anak dengan kemampuan seperti itu merupakan bagian dari evolusi kesadaran baru manusia, yang secara perlahan muncul di bumi, terutama sejak awal milenium spiritual sekitar tahun 2000 yang disebut Masa Baru, The New Age, atau The Aquarian Age. Semua ini merupakan wujud kebesaran Allah," tegas Erwin.
Fisik anak-anak indigo sama dengan anak-anak lainnya, tetapi batinnya tua (old soul) sehingga tak jarang memperlihatkan sifat orang yang sudah dewasa atau tua. Sering kali ia tak mau diperlakukan seperti anak kecil dan tak mau mengikuti tata cara maupun prosedur yang ada. Kebanyakan anak indigo juga memiliki indra keenam yang lebih kuat dibanding orang biasa. Kecerdasannya di atas rata-rata.
Istilah "indigo" berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi biru dan ungu, diidentifikasi melalui cakra tubuh yang memiliki spektrum warna pelangi, dari merah sampai ungu. Istilah "anak indigo" atau indigo children juga merupakan istilah baru yang ditemukan konselor terkemuka di AS, Nancy Ann Tappe.
Pada pertengahan tahun 1970-an Nancy meneliti warna aura manusia dan memetakan artinya untuk menandai kepribadiannya. Tahun 1982 ia menulis buku Understanding Your Life Through Color. Penelitian lanjutan untuk mengelompokkan pola dasar perangai manusia melalui warna aura mendapat dukungan psikiater Dr McGreggor di San Diego University.
Dalam klasifikasi yang baru itu Nancy membahas warna nila yang muncul kuat pada hampir 80 persen aura anak-anak yang lahir setelah tahun 1980. Warna itu menempati urutan keenam pada spektrum warna pelangi maupun pada deretan vertikal cakra, dalam bahasa Sansekerta disebut cakra ajna, yang terletak di dahi, di antara dua alis mata.
"Itulah mata ketiga," ujar dr Erwin. The third eye itu, menurut dia, berkaitan dengan hormon hipofisis (pituary body) dan hormon epificis (pineal body) di otak. Dalam peta klasifikasi yang dibuat Nancy, manusia dengan aura dominan nila dikategorikan sebagai manusia dengan intuisi dan imajinasi sangat kuat.
"Letak indigo ada di sini," jelas Tommy Suhalim sambil menjalankan perangkat teknologi pembaca aura, aura video station (AVS). Alat yang protipenya dibuat oleh Johannes R Fisslinger dari Jerman tahun 1997 ini lebih canggih dibandingkan perangkat teknologi serupa yang ditemukan Seymon Kirlian tahun 1939, dan Aura Camera 6000 yang dibuat Guy Coggins tahun 1992 berdasarkan Kirlian Photography.
Tom menunjukkan titik berkedip berwarna nila tua, sangat jelas di antara kedua mata Vincent Liong (19). Murid kelas dua tingkat SLTA di Gandhi International School itu sudah menulis buku pada usia 14 tahun dan bukunya diterbitkan oleh penerbit terkemuka di Indonesia. Buku Berlindung di Bawah Payung itu merupakan refleksi, berdasarkan kejadian sehari- hari yang sangat sederhana.
Pergulatan pemikiran yang muncul dalam tulisan-tulisannya kemudian seperti datang dari pemikiran orang bijak, dan menjadi bahan pembicaraan. Pemilihan angle-nya tidak biasa, dan hampir tidak terpikir bahkan oleh orang dewasa yang menekuni bidang itu. Belakangan ia banyak menulis soal spiritual, namun tetap dilihat dalam konteks ilmiah dan rasional.
Mungkin karena minatnya yang sangat besar pada dunia tulis-menulis, Vincent tidak terlalu berminat dengan beberapa mata pelajaran di sekolahnya. Orangtuanya yang tergolong demokratis pun sering tidak mengerti apa yang diingini anaknya yang ber-IQ antara 125-130 ini. "Dia keras kepala. Kemarin ia tidak mau ikut ujian matematika," sambung Liong, ayahnya.
Vincent mengaku "takut" pada matematika sejak kecil, tapi mengaku disiplin pada aturan mainnya sendiri. "Sejak kecil aku bingung pada dogma satu tambah satu sama dengan dua. Aku juga bingung dengan ilmu ekonomi karena dalam realitas sosial berbeda," tegas Vincent.
Toh sang ibu sudah menengarai keistimewaan anaknya sejak bayi. Waktu SD, Vincent biasa bergaul dengan gurunya, dan orang-orang setua gurunya. Pertanyaannya banyak dan sangat kritis. "Saya langganan dipanggil guru bukan hanya karena anak itu sulit. tetapi juga karena karangan-karangannya membuat guru-gurunya kagum," ujar Ny Ina.
Vincent sudah menulis tentang teleskop berdasarkan pengamatan dan referensi pada usia SD. "Di rumah ia membawa ensiklopedi yang besar- besar itu ke kamarnya," ujar Ny Ina. "Kamarnya kayak kapal pecah. Tidurnya dini hari karena menulis," sambung Liong. "Saya sering meminta agar ia menyelesaikan pendidikan formalnya dulu, karena bagaimanapun itu sangat penting," lanjut Liong.
"PENDIDIKAN formal sangat penting karena anak-anak indigo harus membumikan ’ilmu langitnya’ untuk kebaikan manusia. Bukan sebaliknya," ujar Rosini (40). Ia menganjurkan, agar anak-anak yang memiliki kemampuan berbeda itu tidak dieksploitasi oleh orangtua dan lingkungannya untuk mencari nomor togel atau menjadi dukun atau klenik. "Bukan itu misi anak-anak indigo," tegas Rosi.
Anak-anak itu sebenarnya punya mekanisme pertahanannya sendiri. Annisa, misalnya. Gadis kecil berusia 4,5 tahun ini tiba-tiba berbicara dalam bahasa Inggris beraksen Amerika begitu ia bisa bicara pada usia 2,5 tahun. Padahal orangtuanya tidak berbahasa Inggris dengan baik. Meski tampak menggemaskan, dalam banyak hal ia berbicara dan bersikap seperti orang dewasa, bahkan menyebut dirinya "orang Amerika" karena "datang dari Amerika". Nisa menyebut ibunya, Yenny bukan dengan panggilan mama.
Kemampuan melihat dan mendengar Nisa sangat tajam pada pukul 23.00 sampai dini hari. Tetapi kalau secara sengaja diminta memperlihatkan kemampuannya, ia akan menolak dengan tidak memperlihatkan kemampuan itu sehingga ia tampak seperti anak-anak lainnya," ujar Yenny. Kata sang ibu, Nisa tidak mudah bersalaman dengan orang. Ia seperti tahu orang yang suka pergi ke dukun atau memakai jimat. Namun sebagai anak-anak Nisa juga suka menyanyi dan bermain.
Jenis dan kemampuan anak indigo bermacam-macam. Meski memiliki kepekaan yang kuat, kepekaan mendengar dan melihat sesuatu yang tidak didengar dan dilihat orang kebanyakan, berbeda-beda gradasinya.
Menurut Lanny Kuswandi, fasilitator program relaksasi di Klinik Prorevital, mengutip dr Erwin, "Ada tipe humanis, tipe konseptual, tipe artis, dan tipe interdimensional. Pendekatan terhadap mereka juga berbeda-beda," sambungnya.
Namun karena dianggap "aneh", tak jarang diagnosisnya keliru dan penanganannya lebih bersandar pada obat-obatan. "Ada anak indigo yang dianggap autis, ADHD (Attention-Deficit Hyperatictve Disorder) maupun ADD (Attention Deficit Disorder). Padahal tanda-tandanya berbeda," sambung Erwin. Kekeliruan semacam ini juga terjadi di AS, karena banyak ahli menganggap anak-anak itu menderita "gangguan" yang harus dihilangkan.
"Saya beberapa kali pergi ke psikolog dan psikiater," ujar Rosini. Profesional di suatu perusahaan swasta terkemuka itu suatu saat dalam hidupnya merasa sangat terganggu oleh suara-suara itu. Orangtuanya juga merasa anaknya "aneh" karena kerap memberi tahu peristiwa yang akan terjadi, tetapi menolak mengakui kemampuan anak itu.
"Dalam tes yang dibuat oleh mereka, saya dinyatakan sehat. Tidak ada gangguan apa pun," sambung Rosini. Sebaliknya, ia melihat psikolog dan psikiater yang melakukan tes terhadap dirinyalah yang bermasalah. Ia juga pernah mencoba mencari paranormal untuk membuang kemampuannya itu, meski suara-suara itu mengatakan "jangan".
Akhirnya Rosi berdamai dengan dirinya dan mengembalikan kemampuannya sebagai wujud kebesaran Allah SWT, dengan berusaha untuk terus mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Karena itu ia ingin membantu orangtua dengan anak-anak indigo agar anak- anak itu tidak melewati masa pencarian yang rumit seperti dirinya.
Indigo children, menurut Erwin, bukan fenomena terakhir, karena akan lahir anak-anak yang disebut sebagai crystal children. "Anak-anak dengan warna dasar aura, bening dan lengkap. Mereka lahir dari orangtua yang spiritual."
Mungkin Cita (9) termasuk anak itu. Keluarganya, sampai nenek-neneknya, spiritualis. Ia bisa melihat sinar dan malaikat di rumah ibadah, khususnya ketika orang-orang sedang berdoa. Ini hanya salah satu kemampuan "melihat" milik anak yang selalu mendapat rangking di sekolah itu. Cita tahu kapan hujan akan turun hari itu dan sebaliknya, meskipun mendung sudah menggantung.
"Ia menjadi teman dan penasihat kami, bapak-ibunya. Di sekolah, di keluarga besar kami, terasa ia menebarkan aura kedamaian dan kebahagiaan. Anak itu sangat tenang dan pemaaf," ujar ibunya, Ny Dita. (MH)
Indigo Si Anak Old Soul
|
Getaran bumi yang sedemikian kuat membawa banyak
perubahan. Salah satunya adalah makin banyaknya terlahir anak berjiwa matang
(old soul) yang memiliki bakat khusus.
Bagaimana mendidik agar mereka tidak merasa tertekan dan aneh karena
berbeda dengan teman-temannya?
Gejala alam rupanya tidak sedikit mempengaruhi hal-hal lain. Waktu yang
berjalan demikian cepat menjadi satu indikasi perubahan yang terjadi di bumi.
Selain itu, munculnya anak-anak berbakat dengan jiwa tua atau old soul, juga
menjadi tanda perubahan bumi yang begitu cepat.
Akhir-akhir ini kita sering disentakkan oleh begitu banyaknya anak yang
memiliki pola pikir berbeda dengan anak seusianya. Daya nalar mereka
cenderung dewasa, padahal usianya belum mencapai belasan. Kali lain kita
dikejutkan oleh anak-anak yang memiliki indra keenam luar biasa tajam,
sehingga si anak sampai merasa dirinya tidak normal karena tidak sama dengan
teman-temannya.
Fenomena lahirnya anak-anak berkemampuan lebih ini sebenarnya sudah sejak
lama ada. Sebastian Bach dan Albert Einstein bisa dikategorikan sebagai anak
indigo. Musik yang diciptakan Bach disebut sebagai tipe musik anak indigo. Ia
menciptakan musik sambil melamun, sama seperti Einstein yang mendapat rumus
saat sedang bengong.
Keberadaan anak-anak berbakat ini memang baru disadari sejak tahun
1990-an. Para ahli menyebut mereka indigo. Nama indigo
diambil karena warna yang dipancarkan dari cakra ajna anak-anak berbakat itu
berwarna biru nila (indigo). Cakra ajna terletak di tengah dahi, antara kedua
alis mata.
Meski demikian, keindigoan seseorang tidak semata-mata hanya ditunjukkan
oleh warna indigo dari cakra ajna. Itu sebabnya, penggalian informasi oleh
para psikolog maupun psikiater lewat wawancara, tetap penting dilakukan.
Melalui obrotan dan tanya jawab, akan diketahui tipe serta pola pikir anak
tersebut.
Tidak Lazim
* Warna aura indigo pada seorang anak memang bisa mengindikasikan banyak
hal. Sebab, dikatakan Tom Suhalim, ahli aura dan fengsui, aura berkaitan
dengan warna kepribadian.
Suatu alat yang disebut aura video station berfungsi hanya untuk melihat
keseimbangan aura pada seseorang. Pada anak indigo, selain ditunjukkan oleh
warna aura, juga dibarengi dengan pola pikir dewasa. Diperkirakan di masa ini
banyak jiwa yang sudah matang atau tua, tapi hidup dalam badan anak-anak.
“Sifat tubuhnya memang anak-anak, tapi soul-nya sudah kuat. Makanya kalau
dia nyeletuk bukan seperti anak-anak lagi. Ada
yang bicara, "Nenek dulu ’kan
adik saya!’ Ada yang merasa
selalu melihat sesuatu yang oleh awam disebut makhluk halus,” papar Dr. Tb.
Erwin Kusuma, Sp.KJ, psikiater anak.
Banyak orangtua yang khawatir dengan kondisi anak seperti itu. Anak indigo
memang kerap memperlihatkan tanda-tanda kejiwaan yang tidak lazim. Satu hal
yang terlihat nyata dari anak indigo, tambah Dr. Erwin, adalah selalu bentrok
dengan orangtua.
Hal ini juga pernah dialami Victor Chandrawira (39) yang juga memiliki
sifat indigo. Saat kecil ia dicap sebagai pemberontak. Menurutnya, sikapnya
itu bukan pemberontakan, melainkan melihat sesuatu dari sisi yang lain.
Selain itu, Victor yang kini menjadi presiden direktur sebuah perusahaan
konsultan untuk pengembangan sumber daya manusia ini juga memiliki berbagai
pengalaman unik. Kala berada di Italia misalnya, ia disapa oleh seorang gipsi
yang mengaku mengenal Victor sebagai seniman keliling yang hidup beberapa
tahun lampau di sana.
Jiwa tua yang hadir dalam anak indigo juga kerap disebut oleh Tom dan Dr.
Erwin sebagai bukti reinkarnasi atau jiwa yang terlahir kembali. Mereka
memperkirakan, anak yang lahir dengan tipe jiwa tua akan bertambah banyak
dalam periode mendatang.
Getaran Berubah
* Munculnya anak indigo, menurut Tom, tak lepas dari pengaruh perubahan
getaran bumi.
Pada tahun 1970 sampai 1980-an, resonansi bumi sekitar 7,83 Hz. Di tahun
2000 menjadi 8,5-9 Hz, sedangkan di tahun 2004 sudah mencapai 13,5 Hz.
Secara metafisik, getaran bumi yang semakin cepat akan menimbulkan satu
fase, yang menyebabkan terjadinya kenaikan tingkat ke dimensi yang lebih
tinggi.
Secara teoretis, getaran bumi yang semakin cepat akan membuat bumi semakin
panas dan suhu ikut meningkat. “Kenaikan ini juga mengakibatkan perubahan yang
cukup signifikan, sehingga membutuhkan orang tertentu untuk
menyeimbangkannya,” lanjut konsultan fengsui dan aura ini.
Kelahiran anak-anak berbakat inilah yang akan membantu getaran bumi
berjalan lebih smooth, lebih muLus. Kelahiran mereka ditujukan untuk mengubah
tatanan dunia supaya menjadi lebih nyaman.
Anak indigo datang ke dunia dengan berbagai misi. Cara yang diambil pun
beraneka ragam. Bisa lewat kesenian, pendidikan, ilmu pengetahuan, olahraga,
bahkan menjadi paranormal. "Semua itu tergantung misi mereka,” katanya.
Anak indigo kebanyakan merupakan pendobrak suatu tatanan yang salah. Karena
bertugas meluruskan ketidakbenaran itu, mereka umumnya lahir dengan tipe
bijaksana. Memang dibutuhkan manusia dengan prinsip kuat untuk bisa membuat
getaran bumi berjalan lebih lembut.
Menurut Tom, dalam beberapa kasus, saat ini juga bermunculan "anak
kristal". "Mereka lebih berbeda lagi. Anak kristal umumnya lebih
kalem. Tapi, secara fisik mereka kurang begitu kuat karena lebih rapuh dan
rentan. Warna auranya lavender, ungu muda,” tuturnya.
Karakteristik anak indigo bermacam-macam. Kemampuan indra keenam tidak
hanya dalam hal penglihatan, tapi juga pendengaran dan lainnya. Mereka bisa
melihat permasalahan lebih mendalam. Intuisi anak seperti itu juga kuat.
Bisa Amburadul
* Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan anak lain
ini, jelas memerlukan peran pendidikan yang khusus pula.
Misalnya anak indigo yang bisa berbahasa Inggris walau usianya masih
balita dan tidak dibesarkan dalam kultur berbahasa Inggris, harus tetap
disekolahkan.
"Sekalipun indigo mereka tetap anak-anak yang harus mendapat
pengarahan. Orangtua tetap harus mendidik mereka,” ucap Tom.
Bagaimanapun, mereka adalah anak-anak yang masih dalam tahap berkembang.
Terlebih lagi, emosi mereka belum seimbang. Hal itu tampak dari warna
kepribadiannya yang masih berganti-ganti.
Tom pun mewanti-wanti agar orangtua selalu mengawasi dan tetap mendidik
anak-anaknya yang tergolong indigo sebagaimana mereka mendidik anak lain.
Jangan sampai orangtua mendewa-dewakan anak indigo.
“Kalau mereka berlaku kurang ajar, tetap harus diajarkan disiplin. Kalau
salah, ya perlu dihukum. Kematangan mereka harus lengkap. Tidak hanya fisik,
pikiran dan emosi harus seimbang. Kalau salah satu tidak bagus, mereka bisa
amburadul,” kata Tom lugas.
Oleh karena itu, menurut Tom, perlu dipertimbangkan kembali oleh para
orangtua yang mengizinkan anak indigo memberi pengajaran (misalnya reiki,
meditasi, penyembuhan, dan lain-lain) kepada orang dewasa. Untuk menjadi
pengajar, mereka harus mempunyai kematangan fisik, emosi, mental, pola pikir,
dan lain-lainnya.
Talenta yang dimiliki anak-anak itu semestinya memang bisa dimanfaatkan.
Namun, untuk dapat menyalurkan kelebihan itu dengan baik dan benar, harus
didukung keseimbangan atau kematangan dari segala aspek.
10 Karakteristik anak Indigo
Dalam bukunya, The Indigo Children, Lee Carroll dan Jan Tober mengemukakan
10 karakteristik anak indigo, yaitu: * Mereka datang ke dunia dengan perasaan
serta perilaku yang menyiratkan kebesaran. * Mereka mempunyai perasaan patut
atau layak untuk berada di sini dan heran bila orang lain tidak merasakannya.
* Penghargaan terhadap diri sendiri bukan merupakan masalah besar. Mereka
justru menyampaikan kepada orangtua, siapa mereka sebenarnya. * Mereka
mempunyai kesulitan dengan kekuasaan absolut, terlebih kekuasaan tanpa
penjelasan atau pilihan. * Mereka terkadang tidak mau melakukan beberapa hal,
seperti mengantre. Itu merupakan sesuatu hal yang menyulitkan bagi mereka. *
Mereka kerap merasa frustrasi dengan sistem yang berorientasi ritual dan
tidak membutuhkan pemikiran kreatif. * Mereka kerap melihat sesuatu atau
mengerjakan sesuatu dengan cara yang lebih baik, baik di rumah maupun
sekolah. * Mereka sepertinya terlihat antisosial, kecuali dalam kalangannya
sendiri. * Mereka tidak akan merespon atas disiplin yang kaku. * Mereka tidak
malu untuk membiarkan orang mengetahui apa yang mereka butuhkan. Selain itu,
dalam buku The Indigo Children, Doreen Virtue, Ph.D, menyebutkan pula beberapa
karakteristik untuk mengidentifikasi anak-anak berbakat khusus itu, yaitu: *
Sangat sensitif. * Energinya sangat berlebihan. * Mudah bosan. * Perlu orang
dengan kondisi emosi yang lebih stabil dan nyaman untuk berada di
sekelilingnya. * Mempunyai pilihan sendiri untuk belajar, terutama untuk
membaca dan matematika. * Mudah frustrasi. Sebab, umumnya mereka mempunyai
banyak ide, namun kurang sumber daya atau orang-orang yang dapat membantu
mereka. * Belajar lewat cara eksplorasi. * Tidak bisa diam kecuali mereka
menyatu dalam sesuatu hal yang sesuai dengan minatnya. * Mempunyai ketakutan
seperti kehilangan atau ditinggal meninggal oleh orang yang dicintainya. *
Jika pengalaman pertamanya mengalami kegagalan, mereka mungkin akan menyerah
dan membuat blok pembelajaran secara permanen.
"Saya Bukan Indigo!"
* Benarkah ada anak indigo? Kalau pertanyaan itu dilontarkan kepada
Vincent Christian Liong, jawabannya, “Tidak!”
Remaja berusia 19 tahun ini dikategorikan sebagai indigo, tapi ia merasa
dirinya bukan indigo. Baginya, indigo hanyalah jenis warna.
Tak ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia sama seperti anak lain
seusianya. Itu sebabnya saat ditanya tentang kondisinya yang dinyatakan
sebagai anak indigo, wajah Vincent berubah. Ia tidak suka! “Saya hanya difoto
aura. Itu pun baru beberapa bulan lalu,” ujarnya kesal.
Sejauh ini, tidak ada dokter yang mewawancarai atau pun memeriksa dirinya,
terkait dengan indigonya. Menurutnya, para dokter hanya mengasumsikan
keindigoannya berdasarkan 10 tipe. “Katanya sih ada tujuh atau delapan tipe
yang cocok,” ucapnya enteng.
Namun, kemudian ia menambahkan, “Sekarang lihat saja deh anak-anak.
Kayaknya banyak juga yang masuk dalam tipe itu. Jadi nggak ada bedanya kan
antara anak indigo dan tidak?”
Urusan indigo ini menjadi sangat sensitif bagi Vincent. Jauh sebelum
masalah ini terangkat, ia bisa menjalani kehidupannya dengan normal. Namun,
begitu wajahnya terpublikasi di media cetak dan televisi sebagai anak indigo,
banyak yang berubah.
“Saya tidak suka dengan kondisi itu. Efeknya jadi tidak baik bagi
perkembangan anak. Saya dianggap aneh, padahal tidak. Untung saja,
teman-teman saya tidak mengganggap demikian,” tutur pelajar kelas 12 di Gandhi
Memorial International
School, Jakarta
ini.
Indigo, menurut Vincent, tidak ada dalam kamus kedokteran. Sebab,
kedokteran Barat tidak memasukkan unsur reinkarnasi yang kerap dihubungkan
dengan kasus indigo. Nah, inilah yang membuat kontroversi. "Lalu,
bagaimana mau ditangani dengan dunia kedokteran?” tanyanya dengan nada kritis.
Hal ini semata-mata diutarakan karena dalam beberapa hal, anak yang diduga
indigo harus menjalani terapi. “Kalau sudah berbakat, kenapa harus diterapi?
So what kalau berbakat?” tanyanya dengan nada meninggi.
Sebagal gambaran, sosok pelajar kelahiran Jakarta,
20 Mei 1985 ini sangat berbakat. Bukan dalam bidang pelajaran, tapi di luar
urusan sekolah. Anak pertama dari dua bersaudara ini sangat rajin menulis,
tidak hanya di milis yang dibuatnya, tapi juga menyebarkan ke berbagai milis
lain.
Tulisannya sangat tajam untuk ukuran anak seusianya, dan berbau filsafat
yang kuat. Bahkan, tulisannya itu sudah dibukukan. Buku pertamanya berjudul
"Berlindung di Bawah Payung" diterbitkan oleh Grasindo pada tahun
2001.
Sebenarnya masih ada dua kumpulan tulisannya yang belum sempat dibukukan.
“Masih berantakan," begitu alasannya. Ia juga pernah memenangi lomba
penulisan Analisis Karya Sastra Tingkat SMU.
Ia menganalisis karya Pramoedya. Tulisan berjudul Tentang Manusia dalam Bumi
Manusia tersebut muncul dalam buku Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi
Karya Sastra.
Vincent memang berbakat. Selain menulis, ia juga aktif memberikan
pelatihan spiritualitas. Yang ia ajarkan adalah soal pemanfaatan otak, reiki
tumo, dan kundalini.
Kompas, 17/06/2005 |